26 April 2009

SMAK Santo Paulus Juarai JBL


Minggu, 26 April 2009, adalah hari terakhir pelaksanaan JBL (Jurnalist By Learning) yang diselenggarakan LPME Ecpose. Acara ini termasuk dalam rangkaian acara Dies Natalies LPME Ecpose ke-20 yang digelar sejak Maret lalu. Di hari pertama pelaksanaan JBL, terlebih dahulu peserta dibekali materi-materi seputar jurnalistik. Untuk tulisan peserta diperkanalkan tentang dunia tulis-menulis oleh Hari Setiawan (Redaktur harian Radar Jember). Untuk fotografi oleh Heru Putranto, fotografer kawakan yang saat ini bekerja untuk Radar Jember.

Dihari kedua, kedelapan belas tim dari berbagai sekolah se-Jember ini terjun ke bantaran Kali Bedadung untuk reportase. Peserta juga harus membuat media di hari itu juga. Pelaksanaan yang hanya satu hari ini, dijelaskan oleh Ketua Panitia JBL Pandu Tyagita untuk melatih skill jurnalistik peserta.” Jadi semua pengerjaan media dilakukan selama satu hari,” kata Pandu.

Suasana penuh haru mewarnai hari ketiga pelaksaan JBL. Karena setelah selama dua hari peserta bergelut dengan media, di hari ketiga ini adalah pengumuman pemenangnya. Dari penilaian dari dewan juri, yakni Hari Setiawan, Heru Putranto, dan Aulia Rachman dipilihlah pemenang JBL dengan nilai tertinggi, yakni perwakilan dari Tim SMAK Santo Paulus. Aplaus meriah langsung diberikan peserta setelah pengumuman pemenang. “Saya senang banget bisa juara, tidak menyangka hasil ini,” terang salah seorang perwakilan dari SMK Santo Paulus. Untuk juara kedua dan ketiga dari lomba jurnalistik ini diperoleh MAN 1 Jember.

baca lanjutan..

22 April 2009

Kembali Ingatkan Kecintaan Kita pada Bumi


”Merangkai Asa Wujudkan Bumi Lestari”, itulah sederet judul sebuah leflet yang dibagikan oleh sekelompok mahasiswa yang melakukan aksi di hari bumi yang jatuh pada 22 April hari ini. Berbagai macam elemen mahasiswa Jember yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Peduli Lingkungan ini melakukan aksi berupa long march dan juga teatrikal bertema kerusakan bumi. Aliansi yang beranggotakan berbagai macam organisasi ini, antara lain terdiri dari UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Kesenian dan UKM Pers Mahasiswa. Mereka antara lain UKM Kesenian Pusat, Panjalu, Dolanan, DKK, Titik, Tiang, Wismagita, LPME Ecpose, Tegalboto, Sardulo Anurogo, Lumut, Komsi, Kurusetra, LPMM Alpha, LPMF Prima, LPMS Ideas dan PPMI (Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia) Kota Jember.

Berangkat dari Fakultas Teknologi Pertanian Unej, rombongan aksi kemudian berjalan melewati FKG dan turun ke Jalan Mastrip, Kalimantan dan berakhir di double W Universitas Jember. Meski aksi yang bertema Wajah Bumi Kekinian ini, sempat tersendat karena sulitnya mengatur lalu lintas antara Jalan Mastrip dan Kalimantan, namun aksi ini mampu menyedot perhatian masyarakat sekitar. Masyarakat nampak tertarik dengan adanya atraksi teatrikal besutan beberapa UKM Kesenian yang telah sengaja dipersiapkan beberapa hari sebelumnya.

Dari rapat koordinasi yang berlangsung pada tanggal 19 April lalu, diputuskan akan diadakannya aksi ini. Dalam rapat tersebut, Samsul Arifin, mantan Ketua Umum UKM Kesenian Pusat terpilih menjadi kordinator lapangan dalam aksi ini. ”Tujuan acara ini sebenarnya ajang kumpul-kumpul arek mahasiswa dan umum, kan jarang iso bareng, trus bentuk kepedulian meskipun sedikit, dan menghibur”, ujarnya ketika diwawancarai sesaat setelah aksi berakhir.
Dalam teatrikal yang ditampilkan, ada beberapa tokoh yang menggambarkan keadaan bumi saat ini. Dua orang berperan sebagai kekeringan, perlambang bumi yang telah rusak, kemudian dua orang lagi berperan sebagai perlambang bumi yang masih hijau. Keempat perlambang ini berjalan berderet di depan puluhan mahasiswa dengan baju hitam-hitam, yang mengikuti dari belakang sambil memunguti sampah yang mereka lewati. Sampah tersebut dibagi dalam dua gerobak, sampah organik dan sampah anorganik. Menurut Sari, anggota UKMK Kurusetra yang berperan sebagai tokoh perlambang kekeringan dalam teatrikal tersebut, pesan yang dibawa dalam teatrikal tersebut yakni mengungkapkan himbauan agar menjaga lingkungan tidak hanya dilakukan waktu Hari Bumi saja. ”Jangan cuma ingat saat Hari Bumi saja, tapi juga untuk dipraktekkan seterusnya”, ungkapnya singkat.

Setelah sampai di depan double W, rombongan ini disambut oleh rombongan lain yang menggelar aksi serupa. Selain mahasiswa yang tergabung dalam aliansi ini, ternyata aksi serupa juga digelar oleh organisasi non mahasiswa Gerimis. Selain melakukan long march dari pertigaan Jalan Karimata, Jalan Jawa, dan Kalimantan, Gerimis juga menggelar teatrikal yang bertajuk perusakan bumi oleh bahan-bahan kimia. Tokoh perlambangnya, digambarkan dengan seorang yang memakai baju dari bekas plastik sabun cuci.

Aksi semakin semarak. Setelah dari pihak Gerimis melakukan teatrikal, disusul oleh teatrikal dari Aliansi Mahasiswa Peduli Lingkungan. Kemudian setelah teatrikel selesai, parade angklung yang diiringi pembacaan esai oleh UKM Reog Unej, Sardulo Anorogo pun ditampilkan. Sebelum acara berakhir dengan foto bersama, doa untuk bumi pun dipanjatkan khusyuk.

Mengenai persiapan yang dilakukan hingga terbentuknya acara ini, menurut Samsul tidak mengalami kendala yang berarti. Namun yang kurang, hanya tidak bisa terlibatnya semua elemen mahasiswa. ”Tapi bila melihat prosesnya, teman-teman banyak yang senang dan lancar wae”, tambahnya. Secara umum ia mengungkapkan kepuasannya terhadap aksi yang berlangsung dari pukul 14.00 hingga 17.00 WIB ini.

Pada dasarnya aksi semacam ini memang perlu digelar untuk mengingatkan kita semua, bahwa bumi ini berhak dicintai dan dijaga kelestariannya. Selain itu, aksi semacam ini dapat pula menjadi refleksi kita semua, agar mencoba mengoreksi diri berapa banyak hal yang kita lakukan selama ini, yang nyata-nyata telah membuat bumi kian sakit. Benar apa yang diungkapkan Sari di atas, segala usaha dan bentuk pelestarain alam ini ”yang penting dipraktekkan”. Ada usaha dari kita untuk menjaga lingkungan sekitar kita. Mungkin dari hal kecil membuang sampah di tempat sampah saja, tapi bila dilakukan setiap saat, selama bertahun-tahun, tentu hasilnya juga akan meringankan beban bumi yang kini telah semakin berat oleh berbagai macam pencemaran. Ingat, tak hanya kita yang berhak menikmati bumi, tapi juga generasi setelah kita kelak juga berhak bernafas dalam udara yang bersih. []

baca lanjutan..

15 April 2009

Unej Tetap Nonaktifkan Mahasiswa Telat Bayar Penundaan SPP

MAHASISWA yang terlambat membayar penundaan SPP dinyatakan tetap nonaktif status kemahasiswaannya dan tidak diperkenankan mengikuti kegiatan akademik (perkuliahan, ujian dan pratikum). Pernyataan tegas itu disampaikan Kepala Biro I Universitas Jember (Unej) Bambang Winarno ketika ditemui di ruang kerjanya Rabu (08/04) lalu.

Ketentuan ini sesuai dengan surat pemberitahuan yang disampaikan oleh Pembantu Rektor I Unej Agus Subekti tertanggal 30 Maret 2009. Namun dari data terbaru, ada perubahan jumlah mahasiswa yang dinonaktifkan. Jika sebelumnya dalam surat pemberitahuan yang ditujukan pada tiap pimpinan fakultas di Unej itu, ada 150 mahasiswa yang belum membayar penundaan SPP. Sampai batas akhir pembayaran tanggal 30 Maret ternyata ada 137 mahasiswa yang belum bayar penundaan SPP. Tiga belas mahasiswa telah membayar dalam jangka waktu perpanjangan yang diberikan. Selebihnya 137 mahasiswa yang tetap belum membayar dengan otomatis dinyatakan nonaktif.

Di semester-semester sebelumnya mahasiswa yang terlambat membayar memang tidak diberi sanksi apapun, walau melebihi batas waktu yang ditetapkan. Hingga UTS pun mahasiswa masih bisa membayar penundaan SPP dan mereka tetap bisa mengikuti ujian. Bambang Winarno menyatakan, ketegasan yang dilakukan oleh universitas merupakan upaya penerapan aturan yang telah ada. ”Peraturan bisa diubah, dulu masih ditolerir. Namun mulai semester ini, tidak ada toleransi lagi,” kata Bambang.

Keputusan ini, ditambahkan oleh Bambang, merupakan keputusan bersama antara pihak pimpinan universitas dan pimpinan di fakultas. Yang menjadi alasan penerapan aturan ini, setelah pihak universitas ditegur oleh Irjen yang melakukan monitoring. Saat itu ada temuan dari Irjen mengenai ketimpangan antara jumlah mahasiswa dengan total penerimaan universitas dari pembayaran SPP. ”Mahasiswa kok diperbolehkan mengikuti kegiatan akademik padahal belum membayar SPP,” kata Bambang menirukan pernyataan Irjen menanggapi temuan mahasiswa yang belum bayar SPP tapi diperkenankan kuliah.

Penundaan SPP selama ini dimanfaatkan oleh mahasiswa yang kurang mampu untuk membayar SPP dengan batas waktu yang diberikan. Menanggapi ini, Bambang menyangkal pernyataan yang menyebutkan bahwa, hanya mahasiswa yang kurang mampu saja yang melakukan penundaan SPP. Karena tidak ada aturan khusus yang mengatur penundaan SPP itu hanya bagi mahasiswa yang kurang mampu.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang akan melakukan penundaan pembayaran SPP hanya pernyataan tidak sanggup membayar SPP hingga batas waktu yang ditetapkan. Sebagai toleransi diberikan batas waktu khusus bagi mereka. ”Namun hingga batas waktu yang diberikan, banyak mahasiswa yang belum bayar. Padahal mereka sudah membuat surat pernyataan kesediaan sanggup membayar pada tanggal yang disepakati,” katanya.

Sosialisasi Setengah Hati

Upaya penerapan aturan yang dilakukan pihak universitas ternyata tidak diimbangi dengan sosialisasi yang memadai. Hal ini dilihat dari surat pemberitahuan tertanggal 30 Maret, walaupun diterima di fakultas pada hari itu juga, namun untuk sosialisasi sudah tidak memungkinkan. Mahasiswa tidak mengetahui batas akhir perpanjangan pembayaran penundaan SPP yang jatuh tempo pada tanggal itu. Hal ini yang menyebabkan mahasiswa tetap tidak membayar, walaupun ada sanksi berat yang mengancam mereka. Yakni, penonaktifan status kemahasiswaan mereka, serta pewajiban membayar SPP rangkap untuk dua semester.

Mahasiswa menganggap aturan penonaktifan itu tetap tidak akan dilakukan oleh universitas, seperti semester-semester sebelumnya. Moch. Hasan, Pembantu Dekan I Fakultas Mipa menceritakan, karena kebiasaan yang tidak ada sanksi. Ada mahasiswanya yang memilih meminjamkan uang pembayaran SPPnya pada temannya yang sedang butuh dan memilih tidak membayar penundaan SPP. Padahal ketika itu batas akhir pembayaran penundaan SPP sudah hampir habis.

Bambang Winarno mengatakan jika sosialisasi telah sampai pada mahasiswa. Menurutnya, hal ini dibuktikan dengan ada mahasiswa yang membayar pada jangka waktu perpanjangan yang diberikan selama 10 hari itu.

Dari ketiga belas nama itu, Tim Pretel baru bisa menemui salah seorang dari mahasiswa yang membayar penundaan SPP pada masa perpanjangan waktu yang diberikan. Heri Kristanto mahasiswa Jurusan IESP FE merupakan mahasiswa yang membayar penundaan SPP pada Senin (23/03). Menurut penjelasannya, ketika membayar SPP pada saat itu dia tidak tahu mengenai ketentuan baru dari universitas. Sebenarnya dia telah mengurus pembayaran sejak 20 Maret. Namun ketika itu hari Jumat, jadi ketika hendak mengurus administrasi di rektorat setelah Sholat Jumat petugasnya tidak ada ditempat. Pembayaran akhirnya dilakukan pada 23 Maret.

Tambahnya, ketika dia membayar petugas yang melayaninya juga tidak memberi informasi terkait penegakan kebijakan dan perpanjangan batas waktu pembayaran, serta sanksi yang diterima mahasiswa jika membayar melebihi tenggat yang ditetapkan. ”Jika ketika itu saya diberi tahu, maka akan saya informasikan pada mahasiswa lain. Karena bagaimanapun juga mereka teman-teman saya,” kata Heri berandai-andai.

Selain Heri, pernyataan sekitar 30-an mahasiswa yang hadir dalam forum komunikasi mahasiswa pada Minggu (5/04) di Gedung POMA FE mengatakan pendapat serupa. Yakni tidak mengetahui adanya penerapan kebijakan yang telah ada dengan disertai sanksi pula itu. Bahkan sebagian mereka, tahu dirinya dinyatakan nonaktif status kemahasiswaannya bukan dari pejabat berwenang di fakultas atau rektorat, malahan dari teman-teman mereka. [LIla Larasati, Edho Cahya K]

baca lanjutan..

06 April 2009

150 Mahasiswa Unej Dinonaktifkan Karena Telat Bayar Penundaan SPP

SISTEM pembayaran SPP di Universitas Jember (Unej) memiliki mekanisme tersendiri. Biasanya untuk pembayaran SPP memberi waktu sekitar dua minggu untuk pelunasan. Bagi mahasiswa yang pada waktu tersebut tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya, pihak Unej memberikan tenggang waktu khusus. Penundaan pembayaran SPP selama ini dimanfaatkan oleh mahasiswa, yang hingga batas akhir pembayaran belum mampu melaksanakan kewajiban membayar SPP. Batasan waktu khusus diberikan oleh Unej bagi mahasiswa yang melakukan penundaan pembayaran SPP, dengan terlebih dahulu melengkapi persyaratan.

Setelah berbagai persyaratan telah terpenuhi oleh mahasiswa, barulah mereka bisa memerogram mata kuliah untuk semester berikutnya. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah membuat pernyataan kesediaan membayar SPP sesuai dengan kesanggupan, namun tidak boleh melebihi batas waktu penundaan. Meski telah ada aturan yang ditetapkan oleh Akademik Unej terkait batas akhir pembayaran penundaan, namun banyak mahasiswa yang tidak mengindahkan aturan ini. Banyak mahasiswa yang masih terlambat melunasi kewajibannya. Seperti semester-semester sebelumnya, di semester ini masih ada mahasiswa yang melanggar perjanjian untuk membayar sesuai dengan pernyataan kesediaan yang telah dibuat. Bahkan hingga batas waktu akhir pembayaran SPP Unej penundaan.

Di semester ini, Unej membuat kebijakan tegas bagi mahasiswa yang melanggar kesepakatan. Jika di semester-semester lalu pihak akademik masih menerima pembayaran SPP, namun di semester ini sudah tidak bisa. Batas akhirnya pembayaranya pada 20 Maret dengan perpanjangan hingga 30 Maret. Ketegasan ini disertai sanksi yang mengikat, yakni penonaktifan mahasiswa yang terlambat membayar penundaan SPP, kemudian pewajiban untuk membayar SPP rangkap selama dua semester.

Kebijakan ini disampaikan universitas melalui surat no 2921/H.25/PP.8/2009 tertanggal 30 Maret 2009 dan ditandatangani Pembantu Rektor I Unej Agus Subekti. Dari surat ini terdaftar ada 150 mahasiswa dari berbagai fakultas yang belum melunasi penundaan SPP. Fakultas Ekonomi (FE) Unej tercatat menjadi fakultas dengan jumlah mahasiswa terbanyak yang belum melunasi pembayaran penundaan SPP, yakni ada 58 mahasiswa, 51 mahasiswa strata satu dan 7 mahasiswa diploma tiga.

Kebijakan tak tegas universitas selama ini menyebabkan mahasiswa untuk tak membayar tepat waktu. Di semester-semester sebelumnya, mahasiswa yang bayar melebihi tenggat tetap dilayani pembayaran SPP-nya tanpa ada sanksi apapun. Disini Pihak Unej tak melaksanakan sistem pengendalian yang ketat, sehingga mahasiswa selalu menunda-nunda bayar penundaan SPP. Wilih Prastika mahasiswa FE jurusan IESP 05 mengatakan bahwa kebiasaan ini telah dilakukan mahasiswa sejak semester-semester sebelumnya. “Dulu, meski terlambat bayar tidak ada sanksi,” ujarnya. Beberapa mahasiswa lain juga mengatakan pendapat sama, ketika ditanya mengenai kenyataan di semester-semester lalu. “Saya sudah beberapa kali terlambat, tapi baru kali ini mendapat sanksi,” celetuk salah seorang mahasiswa yang hadir dalam forum komunikasi mahasiswa yang dinonaktifkan di Gedung POMA FE (5/4).

Moch. Hasan, Pembantu Dekan I Fakultas MIPA memberi kesaksian mengenai hal ini. Di fakultasnya selama ini memang ada saja mahasiswa yang terlambat membayar, bahkan hingga menjelang UTS. Tapi pembayaran SPP yang mereka lakukan tetap diterima oleh BAAK. ”Mungkin hal ini yang menyebabkan mahasiswa jadi mengentengkan untuk membayar penundaan SPP,” jelasnya.

Dalam surat pemberitahuan itu, yang ditujukan pada seluruh dekan di Unej terdapat kejanggalan. Surat ini memberitahukan pada dekan yang bersangkutan mengenai adanya perpanjangan batas waktu pembayaran penundaan SPP, yakni sampai 30 Maret 2009. Jika hingga batas waktu tersebut, mahasiswa masih belum membayar maka sanksi akan berlaku. Status mahasiswa yang bersangkutan tetap nonaktif dan tidak diperkenankan mengikuti kegiatan akademik (perkuliahan, ujian dan pratikum).

Sayangnya dalam surat pemberitahuan dari universitas itu tercantum tanggal pembuatan 30 Maret 2009. Hal ini kiranya yang menyebabkan mahasiswa tetap tak membayar penundaan SPP sampai hingga batas akhir perpanjangan yang diberikan, walaupun sudah ada sanksi berat yang mengancam mereka. Moch. Hasan mengatakan bahwa dirinya baru mengetahui adanya ketegasan ini saat hari terakhir batas pembayaran penundaan SPP (30 Maret, Red). Sosialisasi langsung disampaikan pada mahasiswa. Setelah sosialisasi dilakukan baru keesokan harinya mahasiswa membayar, namun sudah tidak diterima oleh universitas. ”Mereka tetap menerima sanksi itu,” katanya. Di FE hal serupa yang terjadi. Dekan FE M. Saleh mengatakan baru mendapatkan sosialisasi dari universitas pada 30 Maret. ”Karena batas waktunya sudah hampir habis, jadi kami tidak bisa berbuat banyak,” kata Dekan FE.

Menanggapi ketegasan pihak universitas dalam menjalankan kebijakan ini. Pembantu Dekan I MIPA mengatakan bahwa hal ini baik. Ketidaktegasan selama ini juga tidak mendidik mahasiswa. Mahasiswa cenderung menunda-nunda bayar SPP walau telah habis masa perpanjangan penundaan pembayaran SPP. Namun terkait sosialisasi yang dilakukan pihak universitas, dia menyayangkan kenapa di hari terakhir, jadi sosialisasi ke mahasiswa juga sia-sia.

Mahasiswa FE lainnya, Jamal, mengaku tak mengetahui pemberitahuan terkait batas akhir pembayaran penundaan SPP. Dia baru tahu pada tanggal 5 Maret, setelah dihubungi seorang temannya. ”Yang tak tahu bukan hanya saya, namun banyak mahasiswa lain,” katanya.

Hingga berita ini diterbitkan, keputusan dari Unej masih tetap sesuai dengan surat pemberitahuan itu. Namun ketika Tim Pretel hendak meminta penjelasan dari Pembantu Rektor I dan Kepala Biro bagian akademik Unej pada Senin (6/4), yang bersangkutan masih belum bisa dikonfirmasi kerena ada tugas di luar kota. [Lila Larasati]

baca lanjutan..

03 April 2009

Born to be Demokratic


SETIAP manusia yang tercipta di bumi ini, telah terekam waktu dan tempat di mana dia lahir. Begitu pula dengan sebuah organisasi semacam LPME ECPOSE. 1 April lalu, lembaga yang kerap mengarahkan kegiatannya dalam bidang jurnalistik ini, genap berusia dua puluh tahun.

Bila dilihat secara kuantitatif angka dua puluh bukanlah angka main-main. Dua puluh termasuk angka yang cukup besar ditataran bilangan. Dan cukup banyak bila dalam ukuran umur. Begitu pula secara kualitatif, jika diibaratkan seseorang di usia dua puluh, tentunya kedewasaan dan kematangan telah mulai timbul. Bukan hanya dalam fisik yang ditandai dengan berbagai ciri seksual, tetapi dalam segi pemikiran dan persepsi, seorang berusia dua puluh tahun seharusnya lebih bisa bijak dalam menanggapi segala fenomena di sekitarnya.

Selain itu, berdiri selama dua puluh tahun, tentu banyak sekali pengalaman baik buruk yang telah dilewati. Semua menjadi proses bagi pengarungnya yakni seluruh awak lembaga ini di berbagai angkatan tahun. Dan tentu saja, melahirkan berbagai kisah, gembira maupun sedih. Tetapi di luar itu semua, sebagai sebuah lembaga yang telah berdiri lama, kita patut juga mempertanyakan kontribusi apa saja yang telah diperbuat untuk lingkungan sekitar di mana LPME Ecpose ada. Untuk FE, universitas dan juga masyarakat sekitar kampus. Bila masih ada sisa harapan bolehlah kita berharap yang terbaik agar semua menjadi lebih baik untuk ke depannya. Dan perjuangan tetap harus dilanjutkan, dengan artian peran LPME Ecpose bagi lingkungan sekitar akan menjadi lebih besar dari yang sudah-sudah. Semoga.

Sebagai ungkapan rasa syukur yang mendalam, berbagai kegiatan digelar menyambut datangnya hari bahagia ini. Yang pertama dan merupakan syukuran atas lahirnya lembaga ini, diskusi bertajuk Satu Persepsi, Satu Tujuan, Menentang Komersialisasi Pendidikan pun digelar kemarin. Tepat tanggal 1 April 2009. Meski sempat terkendala derasnya kucuran hujan, diskusi ini tetap dilaksanakan sesuai dengan agenda dan persiapan yang telah dilakukan.

Menanggapi permasalahan seputar mahalnya pendidikan, itulah poin utama diadakanya diskusi ini. Tiga orang pemateri memberi arahan bagaimana komersialisasi pendidikan menurut pandangan masing-masing. Kesempatan pertama diberikan pada Isnadi, seorang budayawan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Jember. Menanggapi hal tersebut, ia menekankan pada kesiapan masyarakat sebagai pengonsumsi pendidikan. ”Bila pelepasan pendidikan pada masyarakat apa masyarakat sudah siap?”, ungkapnya. Menurutnya jika sebagian dari biaya pendidikan—dimana 1/3-nya dibebankan pada masyarakat seperti yang tercantum dalam UU BHP—dibebankan pada masyarakat masih belum layak diberlakukan, sebab kondisi masyarakat Indonesia saat ini masih rendah pendidikannya.

Berbeda dengan Anam, ia malah kembali mempertanyakan pada audiens seperti apa komersialisasi pendidikan yang sebenarnya. Sedangkan Andang Subaharianto, Pembantu Rektor III Unej mencoba menilik pendidikan dari sejarahnya sejak zaman kolonial hingga sekarang dengan menganalisa perilaku tipikal orang Indonesia yang lebih suka mengambil posisi tengah-tengah. ”Dulu ketika dunia terbagi dua blok besar Indonesia memutuskan Non Blok, UU BHP barangkali lahir dari paradigma tersebut. Dulu menurut UUD 45’ pendidikan ditanggung oleh negara namun dalam perkembangannya sekarang masyarakat juga dilibatkan”, ujarnya.

Selama berjalannya diskusi pertanyaan pun mengalir dari beberapa peserta. Komersialisasi pendidikan yang diartikan sebagai tidak mampunya seluruh masyarakat dalam mengakses pendidikan karena biayanya kian mahal membuat banyak hal terkuak. Pendidikan telah berubah menjadi suatu bisnis. Karena itulah, logika ekonomi dalam pelaksanaannya terjadi. Mahasiswa yang disodori produknya sama seperti pekerja yang dicekoki pelajaran-pelajaran bersifat mekanis. Dan mirisnya kini hal tersebut disahkan oleh pemerintah dengan adanya UU BHP ini. Itulah kesimpulan dari beberapa pertanyaan peserta.

Menanggapi hal tersebut, PR III menekankan bahwa UU BHP sebaiknya hanya untuk perguruan tinggi saja. Ia mendasarkan UU tersebut sebagai kekuatan kosntitusional yang mengatur besarnya peran masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. ”Dalam UU tersebut ada batasan, hanya 1/3 tanggungjawab masyarakat tidak seperti sekarang yang tidak jelas. Kemudian ini juga mendorong persaingan universitas, bila biaya pada universitas tertentu makin mahal sudah tentu masyarakat meninggalkan universitas yang sekarepe dewe itu”, tutur Andang. Lebih jauh Cak Isnadi menambahkan bahwa problem pendidikan sebenarnya terletak pada kurangnya unsur-unsur kebangsaan, ideologi keadilan dan kesejahteraan yang terkandung di dalamnya. ”Masalahnya pemerintah di negara ini tidak punya komitmen yang jelas terhadap pendidikan”, pungkasnya.

Tak beberapa lama adzan mahgrib pun berkumandang. Diskusi ditutup dengan doa dan acara ramah tamah. Topik permasalahan komersialisasi pendidikan yang telah diperbincangkan ini setidaknya akan diketahui dan masuk dalam otak masing-masing peserta. Dan inilah yang masih harus diperjuangkan bersama. Pendidikan murah yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia. Di sinilah letak satu tujuan dan satu persepsi yang ingin LPME Ecpose teriakkan di hari kelahirannya ini. Karena setiap manusia yang dilahirkan, berhak untuk mendapat pendidikan, karena setiap kita lahir dengan keinginan dalam persamaan hak asasi dan demokrasi. [Reny Tri Lestari]

baca lanjutan..