02 Maret 2009

FE Unej Sediakan Hotspot Bagi Mahasiswa

AKHIR-akhir ini ada pemandangan yang tidak biasanya di FE Unej. Di salah satu sudut kampus tampak beberapa mahasiswa sedang sibuk berkutat dengan laptop di hadapannya. Di sudut-sudut lain pemandangan seperti ini kiranya kian sering dijumpai.

Adanya fasilitas hotspot di FE yang bisa dinikmati mahasiswa secara cuma-cuma menjadi alasan munculnya fenomena baru tersebut. Mereka sedang mengakses internet melalui laptop. Disela-sela menunggu kuliah atau disaat senggang biasanya mahasiswa memilih untuk berinternet ria.

Seperti yang tampak di depan kompleks seketariat unit kegiatan mahasiswa (UKM) FE pada Jumat (27/2) kemarin. Beberapa mahasiswa sedang santai sambil memanfaatkan fasilitas internet gratis. Ketika saya dekati mereka sedang mengakses internet. Salah seorangnya tampak sedang membuka webssite koran termuka. ” Saya sedang mencari data untuk bahan kuliah,” kata Kasiful Anwar, salah seorang dari mahasiswa yang sedang mengakses internet tersebut.

Fasilitas baru ini disambut gembira oleh sejumlah mahasiswa, Kasiful Anwar adalah salah satu contohnya. Adanya fasilitas hotspot makin memudahkannya mengakses informasi. Jika selama ini dia, ketika akan mengakses internet selalu mengunjungi tempat-tempat yang tersedia hotspot, ”Sebelumnya saya pergi ke pelantaran UPT Perpustakaan Unej untuk dapat berinternet gratis,” katanya. Namun masih ada kendala jarak untuk berkunjung ke sana. ”Nah, kalau di FE tersedia hotspot kan lebih membantu mahasiswa,” tambahnya.

Kasiful menambahkan, ada banyak keuntungan yang didapatkan mahasiswa. Pertama, mahasiswa dapat mengakses informasi dengan cepat sebagai bahan untuk persiapan materi kuliah. Sebul kuliah mahasiswa dapat terlebih dahulu mencari bahan-bahan yang bisa menunjang proses belajar di ruang kelas melalui fasilitas ini.

Kedua, di waktu-waktu sengang jika menunggu dosen yang terlambat hadir atau menunggu jadwal waktu kuliah selanjutnya mahasiswa bisa mengakses internet. Selain bisa mengisi waktu, mahasiswa juga diuntungkan dengan dapat mengakses informasi dari luar dengan mudah.

”Kedepannya, iklim akademis di FE bisa cepat meningkat karena ditunjang faslitas ini,” katanya dengan optimis.

Keberadaan fasilitas ini juga dirasakan manfaatnya oleh Retty, mahasiswa S-1 Akuntansi. Menurutnya, mahasiswa banyak dibantu dengan adanya fasilitas hotspot, terutama dalam hal kemudahan mengakses informasi.[Nody Arizona]

baca lanjutan..

Jauh Panggang dari Api: Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru

PADA Jumat (20/02/09) kemarin, tetangga saya yang kebetulan berprofesi menjadi guru SD sejak tahun 1982 lalu dan baru diangkat menjadi PNS pada pertegahan 2008 kemarin, datang ke rumah saya. Mbak Nunuk, begitu dia biasa saya panggil, sedang kebingungan dan gelisah. Bukan karena beberapa ulah nakal muridnya di SDN Kamal II Arjasa Jember, melainkan karena dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 9,75 juta untuk bisa meraih gelar S1 demi memenuhi kebijakan program peningkatan kualifikasi akademik dari pemerintah.

Mbak Nunuk, yang dulu hanya tamatan sekolah pendidikan guru (SPG)—sekolah kejuruan tenaga pendidik waktu lalu yang setingkat dengan SMA—menjawab jujur saat ditanya dia akan berkuliah dimana sampai harus membayar uang sebesar itu. Dia menjawab akan kuliah di sebuah lembaga perguruan tinggi di Desa Kalisat, Kecamatan Kalisat, Jember, yang bahkan namanya saja tidak pernah saya dengar selama saya tinggal 23 tahun di Kota Tembakau ini.


“Ya itu. Bingung mau cari uang itu dari mana. Tapi, kuliahnya cepet, cuma 1 semester. Tapi, itu cuma buat mahasiswa-mahasiswa tua, buat guru-guru kayak aku ini. Jadi, aku sama 6 temanku cukup kuliah 1 semester dan masuk pada Jumat dan Sabtu saja,” jelas Mbak Nunuk.


Mbak Nunuk juga menambahkan bahwa lembaga perguruan tinggi tempat dia kuliah bekerja sama dengan lembaga perguruan tinggi di Malang, Tuban, Surabaya, dan beberapa kota lainnya. Dosennya juga dosen terbang. ”Tempatku kuliah itu mahasiswanya banyak. Bukan hanya guru-guru tua, tetapi juga mahasiswa-mahasiswa muda seumuran kamu ini. Kuliah di sana enak, nggak setiap hari dan memakan banyak waktu seperti kuliah di Unej atau IKIP, atau juga Mohammad Seruji,” tambahnya lagi. Padahal Mbak Nunuk sendiri juga tidak punya bukti bahwa memang benar cabang perguruan tinggi tempat dia belajar itu ada di beberapa kota yang disebutkan dosennya.

”Buat guru-guru yang sudah tua kaya aku ini, kuliah banyak-banyak itu jarang masuk. Sudah kepikiran mbuat modul pembelajaran buat besok, juga kepikiran anak-anak di rumah. Ya, maklum, orang kalau sudah berkeluarga dan ngajar banyak kelas, otaknya sering tumpul kalau disuruh nerima banyak-banyak,” lanjunya lagi dengan nada guyon.

Itu hanya penjelasan dari Mbak Nunuk, belum keterangan dari Mbak Erni, seorang guru yang mengajar di SMP 7 Jember. Dia mengungkapkan bahwa betapa susahnya untuk bisa kuliah lagi jika tidak ada tenaga pembantu atau pengganti baginya untuk mengajar di dalam kelas. ”Lha, sekarang semua guru diwajibkan sertifikasi, minimal S1 untuk guru SD dan SMP. Kuliah sendiri, yang benar-benar kuliah, butuh waktu minimal 4 tahun serta waktu yang rutin. Jika tidak ada tenaga pengganti atau tenaga pembantu bagi guru yang bersangkutan, ya pasti kasihan anak didiknya sering ditinggal. Bebannya yang ditanggung oleh guru tersebut juga semakin besar,” ujar guru yang kebetulan sudah bergelar sarjana tersebut, namun sering dicurhati teman-temannya tentang ruwetnya sertifikasi.

Bu Marni, yang menjadi guru SD di salah satu dusun pelosok di Kecamatan Silo, juga mengatakan betapa sulitnya bagi dia untuk melaksanakan keharusan pemerintah itu. ”Sekolah saya itu jauh sekali. Kalau mau kesana cuma bisa naik motor atau naik pick-up yang adanya cuma jam 7 pagi untuk turun ke sekolah saya, dan jam 5 sore untuk kembali ke jalan besar. Guru di sana cuma empat orang, semua kos. Kalau disuruh bolak-balik ke atas untuk kuliah, ya susah, toh?” keluhnya.

Hal-hal di lapangan tersebutlah yang nyatanya kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat pada umumnya, dan pemerintah daerah pada khusunya, dalam merumuskan program peningkatan kualifikasi akademik, yang pada akhirnya bertujuan untuk memenuhi sertifikasi. Pemerintah lupa mengawal jalannya program ini, sehingga banyak hal yang luput untuk turut dirumuskan. Adanya guru pengganti atau standar dari lembaga perguruan tinggi yang dijadikan tempat bagi para guru tersebut untuk meningkatkan pendidikannya, misalnya. Karena, jika terus dibiarkan seperti ini, tujuan untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidik tidak akan tercapai. Jangan sampai para guru kuliah lagi hanya untuk ”sekadar” menuruti kebijakan pemerintah, tanpa berniat mewujudkan tujuan yang sebenarnya. [Maya Susiani]

baca lanjutan..