14 Juli 2009

Reguler dan Reguler Sore Sama Tapi ”Beda”


KEPUTUSAN Rektor Unej tentang Pengalihan Penyelenggaraan Program Non Reguler S1 ke Program Reguler S1 di Lingkungan Universitas Jember telah ditetapkan Januari lalu. Kemudian, untuk pelaksaannya akan dimulai semester gasal tahun ajaran 2009/2010. Pengalihan itu karena ada teguran dari Irjen Depdiknas atas temuan pelanggaran yang dilakukan oleh Unej terkait penyelenggaraan program reguler dan non reguler di perguruan tinggi negeri yang diatur dalam keputusan Dirjen Dikti Depdiknas No 28/DIKTI/Kep/2002.

FE Unej termasuk fakultas yang terkena imbas dari kebijakan ini. Pasalnya dari 17 program studi non neguler (NR) di UNEJ, di FE ada 3 yaitu prodi IESP NR, Akuntansi NR dan Manajemen NR.Menurut keterangan Kabiro I Unej Bambang Winarno, sebenarnya tidak ada perbedaan berarti antara NR dan RS. Hanya pengelolaannya yang nantinya mengikuti jurusan yang telah ada di reguler. Kalau perbedaannya dengan reguler hanya SPP-nya saja yang lebih mahal. ”SPP untuk mahasiswa NR yang dialihkan ke RS tetap,” kata Bambang. Namun untuk teknis pelaksanaan RS diatur oleh masing-masing fakultas dengan mengacu pada SK dan segenap aturan yang ada.

Tidak adanya perbedaan itu ditegaskan juga oleh Dekan FE Unej M Saleh. Dari segi ijazah misalnya, dari dahulu juga ijazah yang dikeluarkan untuk mahasiswa NR pun selama ini juga ikut jurusan reguler. Tapi untuk teknis pelaksanaannya akan ada perubahan waktu kuliah, sehingga menjadi lebih fleksibel. Kedepannya, mahasiswa RS diharapkan bisa kuliah di pagi hari. “Tapi untuk sampai kesana itu masih jangka panjang, sementara baru sebagian saja yang kuliah di pagi hari,” papar M Shaleh.

Diberikannya kesempatan kuliah di pagi hari bagi mahasiswa reguler sore, menyisakan pertanyaan tentunya. Karena di FE, seperti yang kita ketahui, hingga saat ini ruang kuliahnya masih sangat terbatas. Di semester ini, keterbatasan ruang kuliah juga menjadi permasalahan bagi mahasiswa reguler. Dengan jadwal yang padat serta ruang kuliah yang terbatas menimbulkan kesulitan bagi mahasiswa dan dosen ketika akan mengadakan tambahan kuliah.

Menjawab pertanyaan keterbatasan ruang kuliah. Dekan FE menjawab dengan rencana pembangunan beberapa ruang kuliah baru. ”Kita sudah mencoba mensetting 3 (tiga) ruangan tambahan, rencananya ruangan itu akan ditempatkan di depan ruang 12,” jawab M Shaleh. Namun apakah hal itu bisa mengatasi permasalahan keterbatasan ruang kuliah, Dekan FE mengatakan setidaknya itu sudah membantu mengatasi keterbatasan yang ada.

Terkait pengelolaan RS dijelaskan juga oleh M Saleh nantinya akan menyatu dengan reguler. Jika dahulu untuk mengelola NR ada Kaprodi, maka kedepan tidak ada lagi. RS akan dikelola dibawah Kajur di masing-masing jurusan. ”Kajur reguler juga mengelola RS. Tapi akan dibantu dua sekretaris, satu mengurusi reguler dan sekretaris II mengurusi RS,” jelasnya.

Namun setelah Tim Buldokc mengkonfirmasi hal ini pada Kajur IESP dan Kajur Manjemen. Ternyata yang bersangkutan belum tahu mengenai teknis pengelolaannya bagaimana nantinya. ”Kebijakan mengenai perubahan status Non reguler menjadi reguler sore masih mengambang, belum ada desain tentang pelaksanaannya,” tutur Kajur IESP Fathurrozzi. ”Mengenai pelaksanaan teknisnya saya belum tahu apa-apa,“ ujar Dyah Yulistyorini, Kajur Manajemen.

Karena tidak ada lagi program NR otomatis berpengaruh pada insentif yang diterima oleh dosen. Jika sebelumnya dalam mengajar mahasiswa NR dosen mendapat insentif, maka dengan penggabungan ini, itu tidak lagi diberlakukan. Yang ada adalah, insentif dosen akan dihitung dari beban mengajar mereka. Baru setelah dosen melebihi kuota mengajar akan mendapat insentif. ”Kuota itu ditetapkan 4 sks per semester, jika dosen mengajar melebihi kuota akan diberi insentif,” jelas PD II Imam Mas’ud yang masa jabatannya berakhir 15 Juni kemarin. ”Kebijakan ini dibuat untuk memberi keadilan bagi dosen,” kata Kabiro I Unej.

Menurut Ferdian mahasiswa NR yang transfer dari D3, adanya kebijakan terkait insentif dosen ini membuatnya mempertanyakan soal pengelolaan SPP mahasiswa. Jika tadinya dosen itu diberi insentif ketika mengajar NR lalu besok ketika jadi RS tidak lagi. ”Lantas uangnya untuk apa?” tanyanya. Dari segi SPP, nantinya meski mahasiswa NR dianggap reguler dengan kelas sore tapi SPP-nya tetap.

Menurut pemaparan Imam Mas’ud, meski pengelolaan insentif dosen berubah tetapi pengelolaan keuangannya tidak mengalami perubahan. ”Perubahan NR menjadi RS, tidak berpengaruh pada sistem keuangannya,” ungkap Imam Mas’ud. Selama ini pengelolaan SPP mahasiswa NR seperti halnya SPP mahasiswa reguler dan D3. SPP mahasiswa masuk ke PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) lalu diturunkan melalui DIPA. Bedanya besaran SPP mahasiswa NR yang masuk ke kas FE. “Proporsi dana sebagai anggaran program studi untuk S1 NR , S1 Reguler dan D3 yang masuk ke kas FE berturut-turut; 70%, 60% dan 65%, sisanya digunakan pihak rektorat,” terang Imam Mas’ud. Itu setelah masuk kas negara. ”Dana itulah yang digunakan untuk membiayai kebutuhan operasional,” tambahnya. [Firdaus Yasin] Buldokc No. 42 I Juni 2009

baca lanjutan..

Kelas Khusus Bagi yang Bekerja

PERUBAHAN non reguler menjadi reguler sore, sedikit banyak membuat mahasiswa bimbang, utamanya bagi mahasiswa NR yang bekerja. Sebab, nantinya, setelah berubah menjadi RS, jadwal perkuliahan NR yang biasanya pada malam hari, berubah menjadi pagi-siang-sore. Lalu bagaimana nasib mahasiswa yang kuliah sambil bekerja?

Saat itu pergantian jadwal ujian, hampir jam delapan malam. Di ujung ruang dua belas, beberapa mahasiswa telah banyak yang duduk menunggu waktu ujian di depan ruang itu. Ketika itu, saya menyebar Polling Seputar Isu Mahasiswa (Pisaw) pada 12 Juni lalu. Pisaw pun telah saya sebar ke beberapa mahasiswa yang duduk-duduk tadi. Saya juga duduk di dekat mereka, sembari menunggu polling itu diisi.

Tiba-tiba, sebelum saya sempat bertanya apa pun, seorang mahasiswa NR (setelah mengisi Pisaw) memulai pembicaraan. Namanya M Kadafi Amin, sehari-hari dia bekerja pada PT Sepatu Bata, menyatakan keberatan perihal perubahan NR menjadi RS. Keberatan dia didasarkan pada perubahan jadwal perkuliahan NR nanti. Sebab, mulai hari Senin hingga Jumat, dia mesti bekerja.

”Kalau tidak masuk kerja satu dua kali sih tidak apa-apa, tapi kalau sering susah juga,” ungkap dia. Dia lalu menambahkan, jika perkuliahan NR di FE, jadwalnya rutin dari Senin hingga Jumat. Beda ketika, jadwal perkuliahan hanya Sabtu dan Minggu saja—seperti yang ada di beberapa perguruan tinggi lain—diubah pun tidak menjadi soal.

Selain itu Kadafi juga mengeluhkan mengenai fasilitas yang diterima NR. Menurut dia, NR itu biasanya mendapatkan perlakuan khusus, dari segi fasilitas maupun layanan. Di sini itu tidak ada bahkan lebih buruk, ruangan perkuliahaannya sama sekali tidak ada AC-nya. Lalu dia memperbandingkan NR di FE dengan Mandala, ”Di Mandala itu, sebelum masuk kuliah, mahasiswa mendapatkan coffe break, di sini kan tidak. Di sana ruang untuk NR juga ber-AC”. Selain itu dia juga keberatan, seandainya NR disamakan dengan reguler. Sebab, dari segi pembiayaan, NR membayar semesteran jauh lebih mahal daripada reguler.

Yossy, Mahasiswi Akuntansi NR ‘06 menuturkan, sebelum kuliah dia telah bekerja di Pegadaian Negeri Jember terlebih dahulu. Pegadaian sendiri mengharuskan setiap karyawan yang ingin naik jabatan, salah satu syaratnya adalah melanjutkan kuliah. Inilah yang mendasari dia untuk melanjutkan kuliah di FE. Selain itu, Unej adalah universitas negeri, sehingga ketika dia mau naik jabatan, tidak perlu mengikuti tes lagi.

Saat pertama kali mendaftar kuliah, dia telah melampirkan keterangan bahwa telah bekerja. Berbekal itu, dia berharap mendapat kemudahan, semisal toleransi mengenai waktu, apabila terlambat masuk kuliah saat sore. Sebab, dia bekerja mulai jam 07.30-15.30. Adanya perubahan NR menjadi RS, menjadikan dia khawatir jika nanti waktu kuliah disamakan dengan reguler. Jika itu terjadi, dia pun mengaku akan kesulitan untuk mengatur waktu antara kuliah dengan bekerja. Nantinya jika begitu, pasti akan banyak mahasiswa yang telah bekerja berhenti kuliah atau pindah ke universitas lain.”Kalau begitu FE rugi juga kan?” tanya dia. Padahal selama ini program NR sudah memberi ruang bagi mahasiswa yang telah bekerja.

Pembagian Kelas
Kebijakan penggantian NR menjadi RS mulai diterapkan semester depan. M Saleh, Dekan FE mengatakan, jika nantinya seluruh mahasiswa RS memang betul-betul murni tidak bekerja, maka semua mahasiswa akan masuk pagi. Permasalahan yang muncul di FE, ada mahasiswa yang bekerja, sehingga tidak bisa kuliah pagi. ”Kedepan jika ruangan cukup, tidak ada kuliah sore kecuali mahasiswa yang bekerja,” jelas dia. Lalu dia menambahkan, bagi mahasiswa NR yang bekerja akan disediakan kelas khusus.

Penyediaan kelas khusus ini, ternyata belum bisa membuat mahasiswa NR yang bekerja menjadi lega. Seperti yang dikeluhkan Yunita Indah, Mahasiswa Jurusan Akutansi ’07. Menurut dia, kuliah selain mencari ilmu, juga butuh kebersamaan. Mahasiswa yang bekerja di Indosat ini, mengatakan jika ada pembagian semacam itu, menjadikan kuliah tidak begitu nyaman. Sebab, teman satu kelas dia yang bekerja hanya tiga orang saja. ”Duh gak enak. Bikin males kuliah,” keluh dia.

Senada dengan itu, Lili Kartika, mahasiswa NR sekaligus ibu rumah tangga, menyatakan kebingungan dengan kelas khusus ini. Biasanya saat pagi dia mengurus anak, juga kebutuhan rumah tangga lain. Ketika dia ingin kuliah bersama mahasiswa yang bekerja juga tidak enak, sebab temannya yang bekerja juga sedikit, hanya tujuh orang saja.

”Jika yang kerja disendirikan, jelas memberatkan yang kerja, karena akan kesulitan akses informasi,” kata Yulianta Rahman, mahasiswa NR yang kerja di Telkomsel. Dia lantas menjelaskan, bahwa biaya SPP untuk mahasiswa NR dua kali lipatnya mahasiswa reguler. Dengan konsep RS yang nyaris serupa dengan reguler, dia pun setuju, asalkan bayar SPP disamakan juga dengan reguler.

Namun terkait keterangan dari brosur UM Unej tahun 2009/2010 yang tetap membuka peluang untuk mereka yang bekerja bisa melanjutkan kuliah di RS dengan syarat ada surat ijin belajar dari instansi tempat mereka bekerja, kami belum sempat menanyakan lagi pada Dekan FE karena berita ini sudah harus diterbitkan terlebih dahulu. [Fitria Ardiansyah] Buldokc No. 42 I Juni 2009

baca lanjutan..

Nasib Hima NR Terkatung-katung

SETELAH ditetapkan dengan keputusan Rektor Unej tentang perubahan NR menjadi reguler pada Januari lalu, maka mulai semester depan keputusan ini sudah harus diterapkan di masing-masing fakultas yang membuka program non reguler. Perubahan ini akan menyebabkan NR akan memiliki status sama dengan reguler. Persamaan status ini tidak hanya pada perkuliahannya saja tetapi juga dalam pengelolaan. Pada awalnya NR berada dalam wewenang kaprodi (kepala program studi) tetapi nanti hal itu akan berubah. Dekan FE M saleh mengatakan, nantinya di setiap jurusan ada kajur (kepala jurusan) yang mengelola mahasiswa reguler dan mahasiswa RS (reguler sore). Tetapi untuk pelaksanaannya kajur itu dibantu dua sekretaris, satu mengurusi reguler dan satunya lagi RS.

Peleburan non reguler menjadi reguler kemudian disebut RS juga membawa sebuah wacana baru yang menyangkut kelangsungan Hima NR (Himpunan Mahasiswa Non Reguler). Selama ini Hima NR yang notabenenya menjadi salah satu himpunan mahasiswa yang mengkhususkan diri pada mahasiswa NR harus menghadapi sebuah pewacanaan, yaitu peleburan dengan himpunan mahasiswa reguler lain yang disesuaikan dengan jurusannya. Pewacanaan ini juga diungkapkan oleh Dekan FE ketika ditemui di ruang kerjanya (11/6), ”Mengenai peleburan Hima NR, nanti kita pikirkan lagi kalau bisa di merger ya di merger saja. Kan nantinya reguler dengan NR tidak ada bedanya,” paparnya.

Seandainya peleburan itu benar terjadi maka sangat disayangkan, karena pada awal berdirinya, Hima NR digagas untuk mengusung sebuah persamaan hak bagi mahasiswa NR dengan mahasiswa reguler. Disini Hima NR dibentuk untuk penyampai aspirasi mahasiswa NR. Pernyataan ini diungkapkan oleh Ketua Umum Hima NR Hosnol Hotimah. Sebagai tempat penyampai aspirasi maka Hima NR juga akan membangun sebuah komunikasi bagi mahasiswa entah itu komunikasi antar mahasiswa sendiri atau dengan fakultas. Hal ini dibuktikan dengan pengadaan dialog interaktif dengan dekanat saat pensosialisasian RS kemarin. Selain itu, Hima juga sering mengadakan acara-acara yang disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa NR. ”Acara-acara ini tidak hanya memfokuskan pada satu jurusan saja, tetapi berusaha mencakup ketiga prodi NR (Manajemen, IESP dan Akutansi),” tambah Hosnol lagi.

Pentingnya keberadaan Hima NR sebagai wadah aspirasi bagi mahasiswa dirasakan oleh Wahyu Arisandi, mahasiswa jurusan Manajemen NR ’06, ”Hima sangat berguna kerena menjadi salah satu wadah kegiatan khusus anak NR,” katanya. Selain itu, ditambahkannya pula bahwa Hima sering proaktif dalam memberikan pendampingan dalam penyelenggaraan kegiatan NR.

Mahasiswa yang aktif di KSPM dan KSPE ”CEER” ini mengatakan, bahwa budaya berorganisasi bagi mahasiswa NR bisa dikatakan rendah, itu terindikasikan dari sedikitnya mahasiswa NR yang aktif dalam kegiatan UKM. Dia memberikan beberapa penyebab rendahnya budaya itu. Salah satunya karena ada mahasiswa NR yang bekerja, mereka telah disibukkan dengan pekerjaannya. Kalau bagi mahasiswa NR lainnya mereka terhalang oleh jam kuliah malam karena di jam-jam malam jarang ada UKM yang beraktifitas.

Rendahnya keinginan mahasiswa NR itu dirasakan oleh Ferdian Rohman, mahasiswa Manajemen ’08. Bagi dia, alasan itu akibat kesibukan dari para mahasiswa yang kebanyakan telah bekerja. Selain itu juga pola pikir mereka yang kebanyakan lebih cuek, kecuekan mereka terlihat waktu pulang kuliah, ”Kebanyakan mereka langsung pulang, jarang sekali mahasiswa terlihat ngumpul-ngumpul,” kata mantan Ketum Himadita itu.

Rendahnya tingkat keaktifan mahasiswa NR terhadap keorganisasian itu, maka keberadaan Hima NR menjadi sangat berarti. Keanggotaan organisasinya yang dikhususkan bagi mahasiswa NR sehingga bisa lebih mudah menyesuaikan dengan iklim mahasiswa NR.

Melihat pentingnya keberadaan himpunan yang berdiri sejak 2006 ini membuat para pengurusnya berusaha mempertahankan keberadaan organisasinya dari wacana peleburan. ”Seandainya wacana peleburan itu terealisasi, maka harus ada solusi yang terbaik untuk menggantikannya,” tambah Hosnol. Karena begitu beratnya melepas Hima, maka pengurus telah mengajukan proposal guna penggantian nama Hima NR menjadi Himares. Sehingga keberadaannya akan tetap ada dan hanya berganti nama.

”Memang benar Hima NR telah mengajukan proposal guna penggantian nama dan kini masih menunggu turunnya SK,” kata Agus Lutfhi selaku PD III yang masa jabatannya berakhir 15 juni kemarin. Selain itu, ditambahkannya bahwa apa yang terjadi nanti pada kelangsungan Hima NR masih akan dimusyawarahkan bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya, karena himpunan mahasiswa pada dasarnya dari dan untuk mahasiswa.

Keberlangsungan keberadaan Hima NR juga dianggap masih perlu oleh Ferdian, bagi dia bila ada penggabungan maka akan kurang efektif untuk pengorganisasiannya. ”Jumlah mahasiswa NR yang begitu banyak sangat tidak terwakili bila wadahnya digabung dengan himpunan reguler,” sanggahnya lagi.

Menanggapi nasib dari Hima NR yang terkatung-katung ini PD III yang baru, Fathurrazi mengatakan bahwa kelangsungan keberadaan Hima NR masih menunggu jalannya perkuliahan RS semester depan, entah itu ada penggabungan atau perubahan nama saja. Hal itu masih belum ada pembahasan lebih lanjut. [Dina Margrit A] Buldokc No. 42 I Juni 2009

baca lanjutan..