02 Maret 2009

Jauh Panggang dari Api: Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru

PADA Jumat (20/02/09) kemarin, tetangga saya yang kebetulan berprofesi menjadi guru SD sejak tahun 1982 lalu dan baru diangkat menjadi PNS pada pertegahan 2008 kemarin, datang ke rumah saya. Mbak Nunuk, begitu dia biasa saya panggil, sedang kebingungan dan gelisah. Bukan karena beberapa ulah nakal muridnya di SDN Kamal II Arjasa Jember, melainkan karena dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 9,75 juta untuk bisa meraih gelar S1 demi memenuhi kebijakan program peningkatan kualifikasi akademik dari pemerintah.

Mbak Nunuk, yang dulu hanya tamatan sekolah pendidikan guru (SPG)—sekolah kejuruan tenaga pendidik waktu lalu yang setingkat dengan SMA—menjawab jujur saat ditanya dia akan berkuliah dimana sampai harus membayar uang sebesar itu. Dia menjawab akan kuliah di sebuah lembaga perguruan tinggi di Desa Kalisat, Kecamatan Kalisat, Jember, yang bahkan namanya saja tidak pernah saya dengar selama saya tinggal 23 tahun di Kota Tembakau ini.


“Ya itu. Bingung mau cari uang itu dari mana. Tapi, kuliahnya cepet, cuma 1 semester. Tapi, itu cuma buat mahasiswa-mahasiswa tua, buat guru-guru kayak aku ini. Jadi, aku sama 6 temanku cukup kuliah 1 semester dan masuk pada Jumat dan Sabtu saja,” jelas Mbak Nunuk.


Mbak Nunuk juga menambahkan bahwa lembaga perguruan tinggi tempat dia kuliah bekerja sama dengan lembaga perguruan tinggi di Malang, Tuban, Surabaya, dan beberapa kota lainnya. Dosennya juga dosen terbang. ”Tempatku kuliah itu mahasiswanya banyak. Bukan hanya guru-guru tua, tetapi juga mahasiswa-mahasiswa muda seumuran kamu ini. Kuliah di sana enak, nggak setiap hari dan memakan banyak waktu seperti kuliah di Unej atau IKIP, atau juga Mohammad Seruji,” tambahnya lagi. Padahal Mbak Nunuk sendiri juga tidak punya bukti bahwa memang benar cabang perguruan tinggi tempat dia belajar itu ada di beberapa kota yang disebutkan dosennya.

”Buat guru-guru yang sudah tua kaya aku ini, kuliah banyak-banyak itu jarang masuk. Sudah kepikiran mbuat modul pembelajaran buat besok, juga kepikiran anak-anak di rumah. Ya, maklum, orang kalau sudah berkeluarga dan ngajar banyak kelas, otaknya sering tumpul kalau disuruh nerima banyak-banyak,” lanjunya lagi dengan nada guyon.

Itu hanya penjelasan dari Mbak Nunuk, belum keterangan dari Mbak Erni, seorang guru yang mengajar di SMP 7 Jember. Dia mengungkapkan bahwa betapa susahnya untuk bisa kuliah lagi jika tidak ada tenaga pembantu atau pengganti baginya untuk mengajar di dalam kelas. ”Lha, sekarang semua guru diwajibkan sertifikasi, minimal S1 untuk guru SD dan SMP. Kuliah sendiri, yang benar-benar kuliah, butuh waktu minimal 4 tahun serta waktu yang rutin. Jika tidak ada tenaga pengganti atau tenaga pembantu bagi guru yang bersangkutan, ya pasti kasihan anak didiknya sering ditinggal. Bebannya yang ditanggung oleh guru tersebut juga semakin besar,” ujar guru yang kebetulan sudah bergelar sarjana tersebut, namun sering dicurhati teman-temannya tentang ruwetnya sertifikasi.

Bu Marni, yang menjadi guru SD di salah satu dusun pelosok di Kecamatan Silo, juga mengatakan betapa sulitnya bagi dia untuk melaksanakan keharusan pemerintah itu. ”Sekolah saya itu jauh sekali. Kalau mau kesana cuma bisa naik motor atau naik pick-up yang adanya cuma jam 7 pagi untuk turun ke sekolah saya, dan jam 5 sore untuk kembali ke jalan besar. Guru di sana cuma empat orang, semua kos. Kalau disuruh bolak-balik ke atas untuk kuliah, ya susah, toh?” keluhnya.

Hal-hal di lapangan tersebutlah yang nyatanya kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat pada umumnya, dan pemerintah daerah pada khusunya, dalam merumuskan program peningkatan kualifikasi akademik, yang pada akhirnya bertujuan untuk memenuhi sertifikasi. Pemerintah lupa mengawal jalannya program ini, sehingga banyak hal yang luput untuk turut dirumuskan. Adanya guru pengganti atau standar dari lembaga perguruan tinggi yang dijadikan tempat bagi para guru tersebut untuk meningkatkan pendidikannya, misalnya. Karena, jika terus dibiarkan seperti ini, tujuan untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidik tidak akan tercapai. Jangan sampai para guru kuliah lagi hanya untuk ”sekadar” menuruti kebijakan pemerintah, tanpa berniat mewujudkan tujuan yang sebenarnya. [Maya Susiani]

0 komentar: