27 Juni 2009

Merepresentasikan Kehidupan dalam Tarian

PADA 10-11 Juni 2009 kemarin, gedung PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) terlihat sedikit berbeda. Pelataran gedung yang biasanya terlihat remang-remang menjadi lebih terang. Diluar gedung terdapat baliho yang cukup besar yang bertuliskan GERTAK (Gelar Tari Kontemporer) Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian (UKM Kesenian) Unej with Adinda Miranti (Koreografer) menampilkan ”Besini”, ”Nampel”, ”Cemplung” dengan tema ”Saatnya Seni Tradisi Berteriak Lantang Ditengah Bisingnya Modernisasi”.

Menurut Halim Bahriz Ketua Umum UKM Kesenian, acara ini dilaksanakan dengan harapan diadakannya kesenian jember semakin bergeliat dan ruang-ruang apresiasi seni semakin terbuka lebar. Hal tersebut juga diamini oleh Adinda Miranti sang koreografer bahkan dia tidak menyangka diacara tersebut animo pengunjung sangat besar dan bahkan seniman senior juga berdatangan. Tidak bisa dipungkiri memang, dihari pertama acara tersebut penonton yang hadir sanggup memenuhi seluruh tempat yang disediakan panitia.

Acara tersebut menampilkan salah satu jenis tarian yang disebut sebagai tari kontemporer. Tari kontemporer sendiri berbeda dengan jenis tari-tari tradisional yang biasa terlihat, karena Tari kontemporer tidak lagi terikat oleh standart yang ada, Adinda Miranti mengungkapkan tari kontemporer lepas dari pakem yang sudah ada, jadi tidak lagi terpaku oleh irama ataupun ketukan namun tetap tidak keluar dari substansi tari itu sendiri. Dalam acara tersebut tari tetap menjadi sebuah representasi kondisi sosial budaya masayarakat sekitar, yang tidak hanya digambarkan oleh gerakan dan musik semata, namun juga dengan setting musik, lighting dan yang terpenting adalah ekspresi dari seorang penari. ”Sebuah tari kontemporer memiliki kemiripan dengan teaterikal namun tanpa ada komunikasi oral dari setiap penarinya dan unsur gerakan tari masih tetap ada” ujar Halim Bahriz.

Untuk dapat merepresentasikan kondisi sosial budaya suatu daerah dalam sebuah tari kontemporer tidaklah mudah, karena dalam proses penciptaannya seorang koreografer harus melakukan riset atau observasi polos untuk mencari sebuah ide dasar dari tari kontemporer tersebut. Hal ini diamini oleh Adinda Miranti, ”Untuk menemukan kekhasan sebuah tari, saya perlu mengamati rekaman video tarian sampai berulang-ulang, katanya” tidak hanya itu bahkan untuk menemukan alur cerita yang ingin ditampilkan Adinda Miranti harus melakukan observasi sampai berbulan-bulan.

Seperti karyanya yang berjudul “Nampel”, karya tersebut mengisahkan tentang Tari Lengger yang merupakan tarian asli masyarakat Jember. Tari Lengger dimainkan oleh beberapa orang wanita, awalnya Tari Lenger merupakan seni pertunjukan dengan konsep barongan (ngamen). Karena pertunjukan Tari Lengger selalu diadakan diatas jam sembilan malam dan cenderung selalu berada dilingkungan orang-orang pejudi dan pemabuk, sehingga pandangan masyarakat tentang Tari Lengger menjadi miring. Apalagi hal itu diperkuat dengan adanya anggapan bahwa Penari Lengger bisa ”dipakai”. Keberadaan seni pertunjukan Tari Lengger pun menjadi marjinal karena setiap kali dipentaskan selalu diusir oleh petugas keamanan sekitar. Semakin lama seni pertunjukan Lengger tidak mendapat ”tempat” dan pada akhirnya dilupakan oleh sebagian besar orang.

Dalam karyanya yang berjudul “Nampel” penonton seolah-olah dibawa menyaksikan perjalanan tari lengger di tengah anggapan miring masyarakat dan dilema seorang Penari Lengger yang hanya ingin mencari sesuap nasi. “Saya ingin para pengunjung yang hadir juga ikut berfikir tentang apa yang ditampilkan, dan tidak hanya berfikir seni tari hanya sebagai seni hiburan namun juga sebagai seni,” ujar Adinda Miranti. [Aulia Rachman]

0 komentar: