03 April 2009

Born to be Demokratic


SETIAP manusia yang tercipta di bumi ini, telah terekam waktu dan tempat di mana dia lahir. Begitu pula dengan sebuah organisasi semacam LPME ECPOSE. 1 April lalu, lembaga yang kerap mengarahkan kegiatannya dalam bidang jurnalistik ini, genap berusia dua puluh tahun.

Bila dilihat secara kuantitatif angka dua puluh bukanlah angka main-main. Dua puluh termasuk angka yang cukup besar ditataran bilangan. Dan cukup banyak bila dalam ukuran umur. Begitu pula secara kualitatif, jika diibaratkan seseorang di usia dua puluh, tentunya kedewasaan dan kematangan telah mulai timbul. Bukan hanya dalam fisik yang ditandai dengan berbagai ciri seksual, tetapi dalam segi pemikiran dan persepsi, seorang berusia dua puluh tahun seharusnya lebih bisa bijak dalam menanggapi segala fenomena di sekitarnya.

Selain itu, berdiri selama dua puluh tahun, tentu banyak sekali pengalaman baik buruk yang telah dilewati. Semua menjadi proses bagi pengarungnya yakni seluruh awak lembaga ini di berbagai angkatan tahun. Dan tentu saja, melahirkan berbagai kisah, gembira maupun sedih. Tetapi di luar itu semua, sebagai sebuah lembaga yang telah berdiri lama, kita patut juga mempertanyakan kontribusi apa saja yang telah diperbuat untuk lingkungan sekitar di mana LPME Ecpose ada. Untuk FE, universitas dan juga masyarakat sekitar kampus. Bila masih ada sisa harapan bolehlah kita berharap yang terbaik agar semua menjadi lebih baik untuk ke depannya. Dan perjuangan tetap harus dilanjutkan, dengan artian peran LPME Ecpose bagi lingkungan sekitar akan menjadi lebih besar dari yang sudah-sudah. Semoga.

Sebagai ungkapan rasa syukur yang mendalam, berbagai kegiatan digelar menyambut datangnya hari bahagia ini. Yang pertama dan merupakan syukuran atas lahirnya lembaga ini, diskusi bertajuk Satu Persepsi, Satu Tujuan, Menentang Komersialisasi Pendidikan pun digelar kemarin. Tepat tanggal 1 April 2009. Meski sempat terkendala derasnya kucuran hujan, diskusi ini tetap dilaksanakan sesuai dengan agenda dan persiapan yang telah dilakukan.

Menanggapi permasalahan seputar mahalnya pendidikan, itulah poin utama diadakanya diskusi ini. Tiga orang pemateri memberi arahan bagaimana komersialisasi pendidikan menurut pandangan masing-masing. Kesempatan pertama diberikan pada Isnadi, seorang budayawan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Jember. Menanggapi hal tersebut, ia menekankan pada kesiapan masyarakat sebagai pengonsumsi pendidikan. ”Bila pelepasan pendidikan pada masyarakat apa masyarakat sudah siap?”, ungkapnya. Menurutnya jika sebagian dari biaya pendidikan—dimana 1/3-nya dibebankan pada masyarakat seperti yang tercantum dalam UU BHP—dibebankan pada masyarakat masih belum layak diberlakukan, sebab kondisi masyarakat Indonesia saat ini masih rendah pendidikannya.

Berbeda dengan Anam, ia malah kembali mempertanyakan pada audiens seperti apa komersialisasi pendidikan yang sebenarnya. Sedangkan Andang Subaharianto, Pembantu Rektor III Unej mencoba menilik pendidikan dari sejarahnya sejak zaman kolonial hingga sekarang dengan menganalisa perilaku tipikal orang Indonesia yang lebih suka mengambil posisi tengah-tengah. ”Dulu ketika dunia terbagi dua blok besar Indonesia memutuskan Non Blok, UU BHP barangkali lahir dari paradigma tersebut. Dulu menurut UUD 45’ pendidikan ditanggung oleh negara namun dalam perkembangannya sekarang masyarakat juga dilibatkan”, ujarnya.

Selama berjalannya diskusi pertanyaan pun mengalir dari beberapa peserta. Komersialisasi pendidikan yang diartikan sebagai tidak mampunya seluruh masyarakat dalam mengakses pendidikan karena biayanya kian mahal membuat banyak hal terkuak. Pendidikan telah berubah menjadi suatu bisnis. Karena itulah, logika ekonomi dalam pelaksanaannya terjadi. Mahasiswa yang disodori produknya sama seperti pekerja yang dicekoki pelajaran-pelajaran bersifat mekanis. Dan mirisnya kini hal tersebut disahkan oleh pemerintah dengan adanya UU BHP ini. Itulah kesimpulan dari beberapa pertanyaan peserta.

Menanggapi hal tersebut, PR III menekankan bahwa UU BHP sebaiknya hanya untuk perguruan tinggi saja. Ia mendasarkan UU tersebut sebagai kekuatan kosntitusional yang mengatur besarnya peran masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. ”Dalam UU tersebut ada batasan, hanya 1/3 tanggungjawab masyarakat tidak seperti sekarang yang tidak jelas. Kemudian ini juga mendorong persaingan universitas, bila biaya pada universitas tertentu makin mahal sudah tentu masyarakat meninggalkan universitas yang sekarepe dewe itu”, tutur Andang. Lebih jauh Cak Isnadi menambahkan bahwa problem pendidikan sebenarnya terletak pada kurangnya unsur-unsur kebangsaan, ideologi keadilan dan kesejahteraan yang terkandung di dalamnya. ”Masalahnya pemerintah di negara ini tidak punya komitmen yang jelas terhadap pendidikan”, pungkasnya.

Tak beberapa lama adzan mahgrib pun berkumandang. Diskusi ditutup dengan doa dan acara ramah tamah. Topik permasalahan komersialisasi pendidikan yang telah diperbincangkan ini setidaknya akan diketahui dan masuk dalam otak masing-masing peserta. Dan inilah yang masih harus diperjuangkan bersama. Pendidikan murah yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia. Di sinilah letak satu tujuan dan satu persepsi yang ingin LPME Ecpose teriakkan di hari kelahirannya ini. Karena setiap manusia yang dilahirkan, berhak untuk mendapat pendidikan, karena setiap kita lahir dengan keinginan dalam persamaan hak asasi dan demokrasi. [Reny Tri Lestari]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

http://lumerkoz.edu best for you, codeine centrepiece penta seroquel side effects scouse biocorridors celebrex mosque lipitor side effects splendid cleocin side effects serando jeopardizes